Task #160
closedTurnBackHoax "Hoax"
0%
Description
From: Flash_06 <aidan.evodi@gmail.com>
Subject: Hoax
Pesan dari Pelapor:
Saya masih anak anak. Saya dapet dari teman saya. Saya ingin memastikan ini hoax atau bukan.
======
Isi Hoax :
Maaf mengganggu Anda, tapi sangat mendesak! Saya punya teman yang datang dari tempat yang jauh dan membutuhkan tempat tinggal. Saya menyarankan tempat anda. Saya meminta Anda untuk menerima dan mencintai-Nya. Nama-Nya adalah Yesus Kristus. Katakanlah dengan tenang: Engkau bisa masuk ya Tuhan, saya membutuhkan Engkau, Bersihkan hati saya dengan darah-Mu dan berkatilah keluarga saya. Kirimkan pesan ini ke 20 orang.
4 menit kabar baik datang padamu..
--
This e-mail was sent from a contact form on TurnBackHoax (https://www.turnbackhoax.id/lapor-hoax/)
Files
Updated by Anonymous almost 7 years ago
- File Screen Shot 2018-02-13 at 16.00.42.png Screen Shot 2018-02-13 at 16.00.42.png added
- Status changed from Open to Closed
Berita yang terkait dengan kebiasaan broadcast (berbagi): ""Jika jempolmu sudah kepengin banget share, tunggu dulu. Ada proses untuk verifikasi, mengunyah. Jangan telan dulu. Cuma, itu susah sekali pada saat mereka enggak bisa bedakan hoax dan bukan, harapan tinggal kepada media mainstream," ujar alumnus Universitas Gadjah Mada itu."
http://nasional.kompas.com/read/2017/02/14/09055481/media.sosial.penyebaran.hoax.dan.budaya.berbagi.
"Media Sosial, Penyebaran "Hoax", dan Budaya Berbagi...
NABILLA TASHANDRA
Kompas.com - 14/02/2017, 09:05 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi(Mashable)
JAKARTA, KOMPAS.com — Masyarakat Indonesia saat ini umumnya senang berbagi informasi. Dibarengi dengan perkembangan teknologi digital yang penetrasinya hingga berbagai kalangan, peredaran informasi menjadi kian sulit terbendung.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyebutkan, sedikitnya 170 juta masyarakat Indonesia memiliki minimal satu ponsel atau setidaknya satu SIM card.
Dengan demikian, mereka bisa berbagi informasi dengan cepat. Media sosial dan aplikasi pengirim pesat cepat (chat apps) menjadi media favorit.
Namun, rupanya hal ini menimbulkan suatu polemik baru. Informasi benar dan salah menjadi campur aduk.
"Bangsa Indonesia pada umumnya senang menjadi nomor satu. Jadi, kalau melemparkan isu ingin dianggap yang pertama. Buktinya, kirim lewat WA, Facebook, Twitter, dan sebagainya," ujar Rudiantara dalam sebuah acara diskusi, Senin (13/2/2017).
Edukasi
Isu soal hoax, kata Rudiantara, tak hanya menjadi permasalahan di Tanah Air, tetapi menjadi isu global. Penyelesaian terhadap maraknya hoax juga tak melulu harus diselesaikan pemerintah, tetapi bisa mengadopsi cara penyelesaian di luar pemerintah.
Komunikasi pun dilakukan pemerintah, lewat Kominfo, dengan berbagai pihak dari luar, seperti Facebook dan Google. Kerja sama dilakukan untuk menyaring konten dan beragam informasi.
Terkait regulasi, peredaran informasi agar tidak "liar" dapat dilakukan sesuai koridor Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) bagi media massa.
Sanksi bagi penyebar informasi hoax bisa dikenakan hukuman sesuai yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Namun, kata Rudiantara, kini pemerintah fokus pada "hulu". Bukan hanya pembatasan atau pemblokiran, melainkan lebih kepada literasi masyarakat.
"Kami meng-encourage (mendorong), mempromosikan semua lapisan masyarakat, memiliki etika bagaimana memanfaatkan media sosial," ujar dia.
Masyarakat diharapkan lebih bijak dalam memanfaatkan media sosial. Misalnya, memastikan terlebih dahulu akurasi konten yang akan dibagikan, mengklarifikasi kebenarannya, memastikan manfaatnya, baru kemudian menyebarkannya.
Interaksi di media sosial, kata dia, adalah hal yang tak bisa dicegah dan dibendung. Pembatasan dalam penggunaan media sosial sama saja dengan membatasi masuknya hal-hal positif.
Sebab, media sosial di sisi lain juga membawa banyak dampak positif.
"Contohnya ibu-ibu yang suka masak, membagikan foto hasil masakannya di Facebook, kasih tahu harganya. Masih banyak yang bisa dimanfaatkan untuk hal-hal positif," tutur Rudiantara.
Perubahan pola
Hal serupa diungkapkan pengamat media sosial, Nukman Luthfie. Menurut dia, pada era saat masyarakat sulit membedakan informasi yang benar dan salah, hal terpenting adalah meningkatkan literasi media dan literasi media sosial.
Sebab, penyebaran informasi hoax juga dapat dilakukan oleh mereka yang terpelajar.
"Pengguna mobile phone, ketika ada berita lewat Twitter, Facebook, WhatsApp, hanya lihat judul kemudian disebarkan. Ini fakta, karakter yang menarik dan tidak pernah terjadi sebelumnya," tutur Nukman pada kesempatan yang sama.
Selain kebiasaan berbagi secara cepat, pola baca masyarakat juga berubah total. Jika membaca buku halaman berapa, dan koran alinea berapa, pembaca berita online cenderung membaca secara cepat.
Hal itu didukung dengan format berita daring. Portal berita yang paling banyak dibaca adalah yang hanya terdiri dari beberapa alinea, bahkan penyajiannya cenderung tak lengkap dalam satu berita.
Untuk mendapatkan informasi lengkap, pembaca dipaksa untuk membaca lebih dari satu berita.
"Banyak hoax menyebar luas adalah utamanya, bahkan orang terpelajar pun tidak bisa bedakan mana berita yang benar, advertorial dan hoax. Mereka menyebarkan apa pun yang mereka suka. Suka dulu, enggak perlu betul," tutur Nukman.
Permasalahan saat ini, kata dia, informasi hoax telah memecah belah publik. Misalnya, jika dikaitkan dengan momentum pilkada, publik terbelah menjadi kubu-kubu yang keras.
Hal itu diperparah dengan kondisi bahwa sejumlah media massa sudah berpihak kepada satu pihak sehingga kepercayaan masyarakat pada media mainstream sudah luntur.
"Ini bahaya. Makanya, selalu muncul, setiap kita terima berita, nomor satu adalah kembali kepada manusianya," kata Nukman.
"Jika jempolmu sudah kepengin banget share, tunggu dulu. Ada proses untuk verifikasi, mengunyah. Jangan telan dulu. Cuma, itu susah sekali pada saat mereka enggak bisa bedakan hoax dan bukan, harapan tinggal kepada media mainstream," ujar alumnus Universitas Gadjah Mada itu.
(Baca juga: Riuhnya Media Sosial dan Berita "Hoax", Ini Kata Jokowi...)
Cek sumber
Sementara itu, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengimbau masyarakat untuk menyelidiki benar atau tidak informasi yang akan dibagikannya. Jika tidak benar, memuat fitnah, hingga anjuran kekerasan, informasi itu tak perlu disebarkan.
"Kalau sumber tidak jelas, tidak terverfikasi, tidak masuk akal, tidak bermanfaat, tidak usah disebarkan," kata pria yang akrab disapa Stanley itu.
Ia juga mengimbau agar media massa tetap mengedepankan kompetensi dan independensi, sekalipun berafiliasi dengan kepentingan tertentu.
"Media boleh diperjualbelikan, pemilik silih berganti, tetapi news room harus dipimpin orang yang kompeten dan mengabdi kepada publik," tuturnya.
(Baca juga: Media Arus Utama Harus Jadi Rujukan)
Dewan Pers kemudian menerapkan verifikasi media dengan memberikan QR code. Empat hal disepakati sebagai pedoman pers, yaitu standar perusahaan pers, kompetensi wartawan, kesejahteraan wartawan, dan perlindungan wartawan.
Dengan verifikasi tersebut, Dewan Pers akan memastikan bahwa produk-produk pers yang ada adalah produk berbadan hukum dan dibuat oleh pihak-pihak yang berkompetensi.
"QR code adalah kode khusus, bisa difoto dengan smartphone, foto itu akan ada data URL di Dewan Pers. Nama media, nomor verifikasi, pemimpin redaksi, penanggung jawab, alamat media, contact person," tutur Stanley.
"Supaya orang yang dirugikan oleh pemberitaan itu bisa mengadu kepada media yang bersangkutan. Bisa cek media ini benar atau tidak," kata dia.
Saring Sebelum Sharing Untuk Cegah Hoax- Satu Meja(Kompas TV)
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
Berita Viral, Hoaks atau Fakta?
PenulisNabilla Tashandra
EditorBayu Galih"
Also available in: Atom PDF Tracking page